Dengan Berkembangnya E-wallet, Cryptocurrency, dan Sistem Pembayaran Digital, Apakah Teori Tradisional Tentang Permintaan Uang Masih Berlaku?

Sodiqi.com - Dengan maraknya e-wallet, cryptocurrency, dan sistem pembayaran digital, banyak yang mempertanyakan validitas teori tradisional tentang permintaan uang.

Teori klasik seperti Quantity Theory of Money (teori kuantitas uang) milik Irving Fisher, teori preferensi likuiditas Keynes, atau model Baumol-Tobin yang menjelaskan motif transaksi, berfokus pada faktor seperti pendapatan, suku bunga, biaya transaksi, dan kebutuhan likuiditas.

Namun, di tengah transformasi finansial digital, apakah prinsip-prinsip ini masih mampu menjelaskan perilaku masyarakat dalam memegang uang?

Dengan berkembangnya e-wallet, cryptocurrency, dan sistem pembayaran digital, apakah teori tradisional tentang permintaan uang masih berlaku?{alerInfo}


Dasar Teori Permintaan Uang Tradisional

Teori permintaan uang tradisional berakar pada tiga motif utama: transaksi, berjaga-jaga, dan spekulasi. Misalnya, model Baumol-Tobin menyatakan bahwa individu memegang uang tunai untuk meminimalkan biaya transaksi saat mengkonversi aset likuid menjadi uang.

Ilustrasi Pembayaran Digital - Sumber: Photo by Growtika on Unsplash

Sementara itu, Keynes menekankan bahwa suku bunga memengaruhi keputusan menyimpan uang sebagai alat spekulasi. Teori ini mengasumsikan bahwa uang fisik (kartal atau giral) menjadi pusat aktivitas ekonomi.

Digitalisasi Keuangan Mengubah Pola Permintaan Uang

Kehadiran e-wallet seperti GoPay, OVO, atau DANA mengurangi ketergantungan pada uang fisik. Transaksi kini lebih cepat, tanpa biaya penyimpanan fisik, dan bisa dilakukan dalam hitungan detik. 

Dalam konteks ini, motif transaksi dalam teori klasik tetap ada, tetapi bentuk "uang" yang diminta berubah dari fisik ke digital. Artinya, permintaan uang tidak hilang, melainkan bermigrasi ke platform digital.

Cryptocurrency seperti Bitcoin atau Ethereum menambahkan dimensi baru. Aset kripto tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai investasi spekulatif. Hal ini memperumit teori spekulasi Keynes karena motivasi menyimpan cryptocurrency lebih didorong oleh ekspektasi kenaikan harga, bukan sekadar menghindari kerugian suku bunga.

Selain itu, sifat desentralisasi aset kripto mengabaikan peran bank sentral, sesuatu yang tidak terakomodasi dalam teori tradisional.

Sistem pembayaran digital juga memengaruhi velocity of money (perputaran uang). Transaksi instan mempercepat peredaran uang, sehingga teori kuantitas uang yang menghubungkan jumlah uang beredar dengan tingkat harga mungkin perlu direvisi.

Jika uang bergerak lebih cepat, dampaknya terhadap inflasi bisa lebih dinamis daripada asumsi linear dalam persamaan Fisher (MV=PT).

Tantangan dan Penyesuaian Teori

Meski teknologi finansial mengubah cara orang berinteraksi dengan uang, prinsip dasar teori permintaan uang belum sepenuhnya usang. Misalnya, motif berjaga-jaga tetap relevan, masyarakat masih menyimpan dana darurat, meski dalam bentuk saldo e-wallet atau stablecoin.

Demikian pula, suku bunga virtual (seperti imbal hasil di platform fintech) tetap memengaruhi keputusan alokasi dana.

Namun, teori klasik perlu menyesuaikan diri dengan realitas baru:
  • Biaya Transaksi yang Mendekati Nol: Model Baumol-Tobin mengasumsikan biaya transaksi sebagai faktor penentu. Namun, dengan e-wallet yang memangkas biaya transfer, motif transaksi mungkin lebih dipengaruhi oleh kemudahan akses daripada biaya.
  • Likuiditas Aset Digital: Cryptocurrency dan saldo e-wallet memiliki tingkat likuiditas berbeda. Bitcoin, meski likuid, harganya fluktuatif sehingga kurang memenuhi kriteria "uang" dalam teori tradisional.
  • Peran Data dan Perilaku Konsumen: Algoritma rekomendasi di platform digital bisa memengaruhi pola belanja dan tabungan, faktor yang tidak diantisipasi teori lama.

Ikhtisar

Teori permintaan uang tradisional tidak sepenuhnya kehilangan relevansi, tetapi perlu diinterpretasikan ulang. Konsep dasar seperti kebutuhan likuiditas, pengaruh suku bunga, dan fungsi uang sebagai alat tukar tetap valid, meski mediumnya telah berevolusi.

Perbedaan utama terletak pada kompleksitas faktor yang memengaruhi permintaan uang, seperti volatilitas aset kripto, kecepatan transaksi digital, dan integrasi teknologi dalam perilaku finansial.

Di sisi lain, teori ini juga harus mempertimbangkan aspek keamanan siber, regulasi pemerintah terhadap aset digital, dan inklusi keuangan yang diperluas oleh e-wallet.

Dengan kata lain, digitalisasi tidak membatalkan teori lama, melainkan memperkaya diskusi tentang apa itu "uang" dan bagaimana masyarakat memandang nilainya di era tanpa batas fisik.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama