Teori yang Dapat Menentukan Lokasi Pembangunan Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Jarak terdiri dari?

Sodiqi.com - Pemilihan lokasi pembangunan (baik untuk fasilitas publik, pusat bisnis, atau infrastruktur) umumnya mempertimbangkan dua faktor penting: jumlah penduduk dan jarak.

Dua variabel ini menjadi dasar dalam beberapa teori geografi dan ekonomi yang bertujuan mengoptimalkan aksesibilitas, efisiensi, serta keadilan spasial. Berikut tiga teori penting yang kerap digunakan untuk menjawab persoalan ini, dilengkapi contoh aplikasinya dalam perencanaan modern.

1. Teori Tempat Sentral (Central Place Theory) – Walter Christaller (1933)

Teori ini menjelaskan bagaimana pusat-pusat pelayanan (seperti kota, pasar, atau rumah sakit) didistribusikan berdasarkan jumlah penduduk dan jarak.

Ilustrasi City Scape - Sumber: Matteo Catanese on Unsplash

Christaller berasumsi bahwa manusia cenderung memilih lokasi terdekat untuk memenuhi kebutuhan harian, sementara kebutuhan yang lebih khusus memerlukan perjalanan lebih jauh.

Ia juga memperkenalkan konsep "jangkauan" (range), yaitu jarak maksimum yang rela ditempuh konsumen, dan "ambang" (threshold), yaitu jumlah minimal penduduk yang dibutuhkan untuk menopang suatu layanan.

Misalnya, sebuah warung kelontong (ambang rendah) akan berlokasi di setiap permukiman padat penduduk, karena masyarakat tak mau jauh-jauh membeli kebutuhan sehari-hari.

Sebaliknya, rumah sakit spesialis (ambang tinggi) hanya dibangun di kota besar dengan populasi cukup untuk menjamin pasien tetap. Teori ini banyak dipakai dalam perencanaan tata kota, seperti penempatan pusat perbelanjaan atau sekolah.

2. Model Gravitasi (Gravity Model) – Berasal dari Ilmu Fisika, Diadaptasi oleh Geografer

Terinspirasi hukum gravitasi Newton, model ini memprediksi interaksi antara dua lokasi berdasarkan populasi dan jarak. Formula dasarnya:

Interaksi = ( Populasi Lokasi A × Populasi Lokasi B ) ( Jarak antara A dan B ) 2

Semakin besar populasi dua wilayah dan semakin dekat jaraknya, semakin tinggi intensitas interaksi (misalnya pergerakan orang, barang, atau modal).

Pemerintah kerap memakai model ini untuk merencanakan jaringan transportasi.

Contoh: pembangunan jalan tol antara Jakarta dan Bandung diprioritaskan karena kedua kota berpopulasi besar dan jaraknya relatif dekat, sehingga potensi pengguna tinggi.

Model ini juga menjelaskan mengapa mal-mal besar cenderung dibangun di pinggiran kota yang dekat dengan permukiman padat. Meski jarak dari pusat kota mungkin lebih jauh, populasi sekitar yang besar menjamin kunjungan.

3. Hukum Daya Tarik Ritel (Reilly’s Law of Retail Gravitation) – William J. Reilly (1931)

Reilly mengembangkan teori ini khusus untuk memprediksi batas wilayah perdagangan antara dua kota. 

Menurutnya, sebuah toko atau pusat belanja akan menarik konsumen berdasarkan proporsi populasi kota dan kuadrat jarak. Rumusnya:

Simulasi Hukum Daya Tarik Ritel (Reilly's Law)

Batas Pengaruh = Jarak Kota A-B 1 + Populasi Kota B Populasi Kota A

Teori ini masih dipakai untuk menentukan lokasi gerai ritel atau pusat logistik.

Kritik dan Adaptasi Modern

Ketiga teori di atas memiliki kelemahan. Central Place Theory dianggap terlalu mekanistik, mengabaikan faktor budaya, topografi, atau kebijakan pemerintah. Gravity Model dan Reilly’s Law juga dikritik karena menyederhanakan perilaku manusia yang tidak selalu rasional.

Misalnya, masyarakat mungkin memilih mal yang lebih jauh karena faktor gengsi atau kualitas layanan, meski ada opsi lebih dekat.

Perkembangan teknologi dan data kini memungkinkan teori ini diperkaya dengan variabel tambahan. Sistem Informasi Geografis (SIG) mengintegrasikan data populasi, jarak, kepadatan lalu lintas, hingga preferensi konsumen untuk analisis lebih akurat.

Perusahaan seperti Amazon menggunakan algoritma yang menggabungkan prinsip gravitasi dengan data real-time untuk menentukan lokasi gudang dan rute pengiriman.

Di sisi pembangunan publik, teori berbasis populasi dan jarak tetap relevan. Pemerintah Indonesia memakai prinsip serupa dalam program Saber Pungli untuk menentukan lokasi kantor pelayanan terpadu.

Daerah dengan populasi tinggi dan akses terbatas (misalnya wilayah kepulauan) diprioritaskan mendapat fasilitas agar pemerataan layanan tercapai.

Ikhtisar

Teori lokasi berbasis populasi dan jarak memberikan fondasi ilmiah untuk menjawab "di mana" dan "mengapa" suatu pembangunan perlu dilakukan.

Meski perlu disesuaikan dengan kompleksitas zaman, prinsip dasarnya tetap berguna: lokasi optimal adalah yang memaksimalkan akses bagi populasi terbanyak dengan biaya jarak terkecil.

Dalam era keterbatasan sumber daya, teori ini membantu menghindarkan pembangunan "asal-asalan" yang berujung pada inefisiensi dan ketimpangan.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama