Sodiqi.com - Pernyataan bahwa pesawat terbang tidak dapat terbang di lapisan troposfer sebenarnya kurang tepat.
Faktanya, pesawat justru melintasi troposfer setiap kali lepas landas atau mendarat. Namun, pesawat komersial umumnya tidak menjadikan troposfer sebagai area jelajah utama saat cruising (terbang stabil).
Lapisan ini berada pada ketinggian 0–12 km di atas permukaan bumi, tergantung lokasi geografis, dan menjadi tempat terjadinya sebagian besar fenomena cuaca seperti hujan, angin kencang, atau badai.
Alasan pesawat menghindari terbang terlalu lama di troposfer berkaitan dengan efisiensi, keamanan, dan kinerja mesin.
Udara di Troposfer Lebih Padat
Udara di troposfer lebih padat karena mengandung sekitar 75% massa atmosfer bumi. Kepadatan ini sebenarnya membantu pesawat menghasilkan gaya angkat (lift) saat lepas landas. Sayap pesawat memanfaatkan aliran udara cepat untuk mengangkat badan pesawat.
![]() |
Diagram Troposfer - Sumber: Bayu198, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons |
Namun, kepadatan udara yang tinggi juga meningkatkan gaya hambat (drag), membuat mesin harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan kecepatan. Akibatnya, konsumsi bahan bakar menjadi tidak efisien jika pesawat terbang terlalu lama di ketinggian ini.
Faktor Cuaca
Faktor cuaca juga menjadi penghambat utama. Troposfer adalah “rumah” bagi awan kumulonimbus yang memicu turbulensi parah, petir, hingga hujan es. Turbulensi tidak hanya membuat penumpang tidak nyaman, tetapi juga berpotensi merusak struktur pesawat jika terjadi secara ekstrem.Pilot biasanya berusaha menghindari area cuaca buruk dengan naik ke ketinggian stratosfer (di atas 12 km), di mana kondisi udara lebih stabil dan jarang terjadi gangguan cuaca.
Beroperasi Optimal di Udara yang Lebih Tipis
Selain itu, mesin pesawat dirancang untuk beroperasi optimal di udara yang lebih tipis. Di stratosfer, kepadatan udara menurun drastis, sehingga gaya hambat berkurang.Mesin jet bisa menyedot udara dengan volume tepat untuk pembakaran efisien, memungkinkan pesawat meluncur lebih cepat dengan konsumsi bahan bakar lebih irit.
Contohnya, pesawat komersial seperti Boeing 787 biasanya cruising di ketinggian 10–13 km—di mana batas troposfer dan stratosfer bervariasi.
Di daerah kutub, troposfer lebih tipis (sekitar 8 km), sehingga pesawat lebih cepat masuk ke stratosfer.
Ketinggian Troposfer Tidak Seragam
Penting juga dipahami bahwa batas ketinggian troposfer tidak seragam di seluruh bumi. Di ekuator, troposfer mencapai 16–18 km karena pemanasan matahari intensif, sementara di wilayah kutub hanya sekitar 6–8 km.Maskapai penerbangan sering memilih rute yang memanfaatkan jet stream (aliran angin kencang di troposfer atas) untuk menghemat bahan bakar. Namun, ini tetap dilakukan di lapisan teratas troposfer atau transisi ke stratosfer.
Ikhtisar
Jadi, klaim bahwa pesawat “tidak bisa terbang” di troposfer adalah mitos. Pesawat justru harus melintasinya, tetapi hanya sementara. Pemilihan ketinggian jelajah di stratosfer lebih didasarkan pada pertimbangan teknis, ekonomis, dan keselamatan.Teknologi pesawat terus dikembangkan agar adaptif dengan dinamika atmosfer, termasuk menciptakan mesin yang mampu bekerja di berbagai kepadatan udara. Dengan memahami hal ini, kita bisa melihat betapa desain penerbangan modern adalah hasil kolaborasi sains, rekayasa, dan pengalaman mengarungi keunikan lapisan atmosfer bumi.