Sodiqi.com - Setiap guru pasti pernah menghadapi situasi ini: satu siswa mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan, sementara yang lain asyik mengobrol atau sibuk sendiri di belakang kelas. Pertanyaannya, bagaimana cara mengarahkan perilaku mereka tanpa membuat suasana kelas tegang atau kehilangan minat belajar?
Positive reinforcement: Menambah stimulus menyenangkan untuk meningkatkan perilaku.
Jawabannya terletak pada pemahaman tentang prinsip reward, punishment, dan reinforcement, tiga konsep psikologi perilaku yang bisa menjadi senjata ampuh guru dalam membentuk karakter peserta didik. Mari kita telusuri prinsip-prinsip ini dengan contoh konkret di dunia pendidikan!
Kekuatan reward terletak pada kemampuannya memperkuat motivasi intrinsik. Contoh:
Punishment yang baik harus disertai penjelasan sebab-akibat. Misalnya:
“Karena kamu terus berbicara saat teman presentasi, kamu kehilangan kesempatan memberi komentar hari ini. Besok, kita coba lagi dengan lebih baik.”
Reward: Bukan Sekadar Hadiah, Tapi Pengakuan atas Usaha
Reward (hadiah) adalah stimulus positif yang diberikan guru saat peserta didik menunjukkan perilaku atau pencapaian yang diharapkan. Tapi jangan salah, reward dalam konteks pendidikan tidak melulu tentang permen atau nilai tambahan. Seorang peserta didik yang biasanya pemalu lalu berani presentasi di depan kelas, misalnya, layak mendapat apresiasi verbal seperti, “Keren, Rio! Presentasimu jelas dan sistematis!”Kekuatan reward terletak pada kemampuannya memperkuat motivasi intrinsik. Contoh:
- Reward sosial: Pujian, tepuk tangan, atau penempatan sebagai leader kelompok.
- Reward simbolik: Bintang penghargaan di papan nama kelas atau sertifikat “Siswa Teladan”.
- Reward fungsional: Kesempatan memilih aktivitas belajar favorit (misal: diskusi vs menonton film edukasi).
Punishment: Bukan Ancaman, Tapi Pembelajaran tentang Konsekuensi
Punishment (hukuman) sering dianggap sebagai cara kuno atau tidak "manusiawi". Padahal, jika diterapkan dengan tepat, punishment bisa menjadi alat untuk mengajarkan tanggung jawab. Kuncinya adalah menghindari hukuman fisik atau verbal yang merendahkan, dan fokus pada konsekuensi logis.Contoh punishment yang konstruktif:
- Kehilangan hak istimewa: Siswa yang menyontek selama ujian tidak boleh ikut kegiatan ekstrakurikuler selama seminggu.
- Restitusi: Siswa yang mencoret meja diwajibkan membersihkan semua meja di kelas.
- Time-out: Memisahkan siswa yang mengganggu teman ke area tenang selama 5 menit untuk merenung.
Punishment yang baik harus disertai penjelasan sebab-akibat. Misalnya:
“Karena kamu terus berbicara saat teman presentasi, kamu kehilangan kesempatan memberi komentar hari ini. Besok, kita coba lagi dengan lebih baik.”
Yang perlu diwaspadai: punishment berlebihan bisa memicu rasa malu, penolakan, atau bahkan pembangkangan. Siswa yang dihukum di depan kelas karena terlambat mungkin malah bolos keesokan harinya. Karena itu, kombinasikan dengan pendekatan restorative justice—ajak mereka merefleksikan kesalahan dan memperbaiki hubungan.
Reinforcement: Seni Mempertahankan Perilaku Positif
Reinforcement (penguatan) adalah strategi jangka panjang untuk membuat perilaku baik menjadi kebiasaan. B.F. Skinner membedakannya menjadi dua:Positive reinforcement: Menambah stimulus menyenangkan untuk meningkatkan perilaku.
Contoh: Guru memberikan sticker “Kreatif” setiap kali siswa mengajukan ide unik dalam diskusi.
Negative reinforcement: Mengurangi stimulus tidak menyenangkan untuk meningkatkan perilaku.
Negative reinforcement: Mengurangi stimulus tidak menyenangkan untuk meningkatkan perilaku.
Contoh: Guru berhenti mengingatkan siswa yang biasanya pasif untuk menjawab pertanyaan setelah ia mulai aktif.
![]() |
Ilustrasi Suasana di Dalam Kelas - Photo by Austrian National Library on Unsplash |
Di dalam kelas, negative reinforcement sering muncul dalam bentuk “kesepakatan”.
Misal:
“Jika kalian semua mengumpulkan tugas tepat waktu hari ini, PR akhir pekan akan saya batalkan.”
Reinforcement paling efektif jika dilakukan intermittently (tidak setiap kali). Misalnya, guru tidak perlu memberi pujian setiap kali peserta didik tepat waktu, tapi cukup 3-4 kali secara acak. Cara ini mencegah siswa jadi adiktif terhadap reward.
Solusinya? Gunakan fading technique. Perlahan kurangi frekuensi reward sambil menggantinya dengan motivasi internal. Contoh:
Minggu 1: Beri stiker setiap kali siswa berani bertanya.
Minggu 2: Beri stiker setiap 2-3 kali pertanyaan.
Minggu 3: Ganti stiker dengan pujian verbal, lalu ajak siswa menceritakan perasaannya saat berani bertanya.
Kasus: Siswa sering ribut saat guru menjelaskan.
Solusi kreatif:
Mulailah dengan langkah kecil:
“Jika kalian semua mengumpulkan tugas tepat waktu hari ini, PR akhir pekan akan saya batalkan.”
Reinforcement paling efektif jika dilakukan intermittently (tidak setiap kali). Misalnya, guru tidak perlu memberi pujian setiap kali peserta didik tepat waktu, tapi cukup 3-4 kali secara acak. Cara ini mencegah siswa jadi adiktif terhadap reward.
Kapan Reward Berubah Jadi Bumerang?
Reward dan reinforcement bisa kehilangan daya jika digunakan sembarangan. Berikut jebakan yang perlu dihindari:- Over-rewarding: Memberi hadiah untuk hal sepele, seperti memberi permen hanya karena siswa membuka buku.
- Materi berlebihan: Fokus pada hadiah fisik (permen, mainan) alih-alih apresiasi non-materi.
- Tidak ada transisi ke motivasi intrinsik: Siswa hanya rajin karena ingin hadiah, bukan karena sadar pentingnya belajar.
Solusinya? Gunakan fading technique. Perlahan kurangi frekuensi reward sambil menggantinya dengan motivasi internal. Contoh:
Minggu 1: Beri stiker setiap kali siswa berani bertanya.
Minggu 2: Beri stiker setiap 2-3 kali pertanyaan.
Minggu 3: Ganti stiker dengan pujian verbal, lalu ajak siswa menceritakan perasaannya saat berani bertanya.
Integrasi Reward, Punishment, dan Reinforcement dalam Pembelajaran
Ketiga prinsip yang telah dijelaskan di atas bukan untuk digunakan sendiri-sendiri secara terpisah, tapi bisa saling melengkapi. Berikut contoh penerapannya di kelas:Kasus: Siswa sering ribut saat guru menjelaskan.
- Reinforcement: “Siapa yang bisa mendengarkan dengan tenang sampai penjelasan selesai, boleh memilih lagu untuk kita nyanyikan bersama di akhir pelajaran!” (positive reinforcement).
- Punishment: “Yang masih berbicara, silakan duduk di kursi khusus selama 3 menit sampai siap mendengarkan.” (punishment positif).
- Reward: Di akhir sesi, beri pujian spesifik pada siswa yang konsisten tenang, “Terima kasih, Nia dan Roni—kontak mata kalian tadi membantu saya menjelaskan materi dengan lancar!”
Tantangan di Era Digital: Reward Instan vs Proses Belajar
Peserta didik generasi Z dan Alpha tumbuh di dunia dengan reward instan: likes di media sosial, level up di gim, atau notifikasi online shop. Hal ini membentuk ekspektasi bahwa usaha kecil harus langsung dihargai. Tantangan guru adalah menyeimbangkan kecepatan dunia digital dengan kesabaran proses belajar.Solusi kreatif:
- Gunakan aplikasi seperti ClassDojo yang memberi poin virtual untuk perilaku positif.
- Buat sistem badge digital untuk pencapaian jangka panjang (contoh: “Ahli Matematika” setelah menyelesaikan 10 proyek).
- Ajak peserta didik menetapkan target diri sendiri, lalu rayakan pencapaiannya dengan refleksi bersama.
Ikhtisar
Menerapkan reward, punishment, dan reinforcement bukanlah ilmu pasti. Apa yang berhasil untuk satu siswa mungkin gagal untuk lainnya. Seorang anak yang pendiam mungkin termotivasi oleh pujian publik, sementara yang lain merasa malu. Karena itu, kuncinya adalah fleksibilitas dan observasi.Mulailah dengan langkah kecil:
- Identifikasi 1-2 perilaku yang paling perlu diubah/diperkuat.
- Pilih strategi yang sesuai dengan kepribadian siswa.
- Evaluasi setiap minggu: Apakah perilaku membaik? Apakah ada efek samping?
Seperti kata Maria Montessori,
“Disiplin sejati berasal dari dalam diri, bukan dari paksaan eksternal.”
Dengan prinsip-prinsip ini, guru bisa menjadi fasilitator yang membantu peserta didik menemukan disiplin tersebut.